Posted by : Unknown
October 27, 2016
Laporan Praktikum Hari/Tanggal : Kamis/25 Februari 2016
Biokimia Umum Waktu : 15.00-18.00 WIB
PJP : Syaefudin, SSi, MSi
Asisten : Listia Vidyawati M
M Maftuchin Sholeh
Annisa Dhiya Athiyyah K
Bayu Cakra B
BIOFISIK II
(Koloid, Buffer, dan Tekanan
Osmotik)
Kelompok
1
Ita Lestari
Telaumbanua B04140189
Fathan Abdul
Aziz B04150059
Faza Adriani
Nurfazri B04150153
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2016
PENDAHULUAN
Koloid dapat didefinisikan sebagai campuran dari dua atau lebih zat yang salah satu fasenya
tersuspensi sebagai sejumlah partikel yang sangat kecil dalam fase kedua
Ukuran dispersinya 1 nm sampai 0,1 ยต. Fase terdispersi dan medium pendispersi
dalam suatu koloid dapat berinteraksi satu sama lain, berdasarkan interaksi
tersebut, koloid sol dapat dibagi atas liofil dan liofob
(Oxtoby 2001).
Koloid dapat dibedakan menjadi beberapa jenis
bedasarkan kriteria tertentu. Beberapa jenis koloid berdasarkan fase
pendispersi dan terdispersi antara lain aerosol, sol, emulsi, buih, dan gel.
Adapun jenis koloid berdasarkan interaksinya dengan cairan lain yaitu koloid
liofil dan kolid liofob. Koloid liofil merupakan
jenis koloid yang dapat mengadsorpsi cairan
sehingga terbentuk selubung di sekeliling koloid. Contoh
koloid liofil adalah gelatin dan pati. Koloid liofob ialah
koloid yang tidak dapat mengadsorpsi cairan. Contoh koloid liofob adalah
biru berlin dan ferihidroksida (Samsi et a.l 2009).
Larutan buffer adalah campuran asam/basa lemah dan basa/asam konjugasinya yang
dapat mempertahankan pH di sekitar daerah kapasitas buffer. Larutan
buffer dibuat dari senyawa sitrat dan fosfat. Contoh larutan bufer adalah bufer
karbonat dan bufer fosfat (Oxtoby 2001).
Larutan buffer memiliki suatu kapasitas. Kapasitas bufer didefinisikan sebagai kemampuan larutan bufer untuk mempertahankan pH dengan
konstan ketika ditambahkan sedikit asam atau basa. Secara sederhana,
kapasitas bufer adalah jumlah asam atau basa yang dapat dinetralkan oleh bufer
sebelum pH-nya berubah. Kapasitas bufer bergantung pada
jumlah mol dan perbandingan mol komponen penyusun bufer tersebut (Padmono
2007).
Osmosis adalah pergerakan
air dari cairan yang mempunyai kandungan air lebih tinggi (lebih encer) menuju
ke cairan yang mempunyai kandungan air lebih rendah (lebih pekat).
Osmosis akan berhenti ketika kedua larutan mencapai konsentrasi yang sama.
Apabila konsentrasi telah sama maka larutan tersebut sudah isotonis (Isnaeni
2006).
Tekanan osmotik adalah tekanan yang dibutuhkan untuk mempertahankan kesetimbangan
osmotik antara suatu larutan dan pelarut murninya. Larutan dan pelarut
tersebut dipisahkan oleh suatu membran yang hanya dapat dilewati oleh pelarut
tersebut. Dengan kata lain, tekanan osmotik
adalah tekanan yang diperlukan untuk menghentikan
proses osmosis, yaitu gerakan pelarut melintasi membran semipermeabel ke
larutan yang lebih pekat (Kofli et al. 2006).
Isotonis adalah suatu keadaan tekanan
osmotik larutan yang sama,
misalnya darah dan air mata. Hipotonis berarti tekanan
osmotik larutan lebih kecil dari pada tekanan osmotik larutan lainnya.
Hipertonis merupakan keadaan dimana tekanan osmotik larutan lebih besar dari
larutan lainnya (Syamsuni 2006).
Tujuan
Praktikum ini bertujuan mengamati
perbedaan sifat berbagai koloid. Praktikum ini juga bertujuan membuat larutan
penyangga. Tujuan lainnya adalah mengamati pengaruh tekanan osmotik pada
larutan.
METODE
Waktu
dan Tempat Praktikum
Praktikum
mata kuliah biokimia berjudul koloid, buffer dan tekanan osmotik. Pratikum ini
dilakukan pada hari kamis tanggal 25 Februari 2016. Praktikum bertempat di Lab
Biokimia di gedung Fakultas peternakan lantai.
Bahan
dan Alat
Bahan yang
digunakan pada percobaan ini antara lain gelatin, akuades, pati, FeCl3 0.02 N,
K4Fe(CN)6 0.2 N, ferihifroksida 33 %, NaCl 10 %, MgSO4,
CuSO4 5 %, biru berlin, eosin, giemsa, asam asetat 0.1 N, Na-asetat 0.1 N, Na2HPO4
0.2 M, KH2PO4 0.2 M, NaCl 0.3 %, NaCl 0.9 %, NaCl 5 %, dan darah
ayam. Adapun alat yang digunakan antara lain tabung reaksi, gelas piala, pH
meter, pipet tetes, dan mikroskop.
Prosedur
Percobaan
Larutan Koloid Liofil
Koloid gelatin
2 % : Gelas piala 250 mL diisi dengan 2 g gelatin dan 25 mL akuades dingin,
dibiarkan sampai semua gelatin menarik air dan mengembang. Air panas sebanyak
75 mL dituang ke dalam gelas piala dan diaduk hingga homogen.
Koloid pati 2 % : Gelas
piala 250 mL diisi dengan 2 g pati dan 10 mL air dingin, alu diaduk hingga
homogen. Air mendidih sebanyak 90 mL dituang ke gelas piala dan diaduk lagi
sampai homogen.
Larutan Koloid Liofob
Koloid biru
berlin : Sebanyak 10 mL campuran FeCl3 0.02 N dan K4Fe(CN)6
0.2 N dipipet ke dalam gelas piala 100 mL dan diaduk sampai homogen. Campuran
tersebut diambil sekitar 5 mL dan diencerkan seperlunya untuk mengetahui ada
tidaknya endapan.
Koloid
ferihidroksida : Sebanyak 1 mL ferihidroksida dipipet ke dalam gelas piala
yang berisi 200 mL aquades mendidih, lalu diaduk hingga homogen. Warna yang
terbentuk dari campuran itu diamati dan dibandingkan antara koloid liofil
dengan liofob.
Pengendapan Koloid dengan
Larutan Garam
Pengendapan
koloid liofil dengan NaCl 10 % : Beberapa mL larutan NaCl 10 % ditambahkan
ke dalam salah satu koloid liofil (gelatin atau pati) hingga terbentuk endapan.
Akuades ditambahkan ke dalam larutan jika endapan jenuh. Garam MgSO4
ditambahkan ke dalam larutan jika endapan tidak terbentuk.
Pengendapan
koloid liofob dengan larutan garam : Beberapa mL larutan NaCl 10 %
ditambahkan ke dalam salah satu koloid liofob (biru berlin atau ferihidroksida)
hingga terbentuk endapan. Diperlukan waktu lebih dari 1 jam agar endapan dapat
terbentuk.
Sifat-sifat
larutan koloid (difusi melalui gel) : Sebanyak 5 mL larutan gelatin 15 %
dimasukkan ke dalam 4 tabung reaksi dan didinginkan sampai membeku. Larutan
koloid CuSO4 ditambahkan pada tabung 1, larutan koloid biru berlin pada tabung
2, larutan eosin pada tabung 3, dan larutan giemsa pada tabung 4. Campuran
tersebut disimpan di dalam lemari pendingin selama 1 malam. Larutan-larutan
yang mengalami difusi diamati dan dibandingkan antara proses difusi dengan
perembesan.
Pembuatan Bufer dalam Berbagai
pH
Bufer standar
asetat (Walpole) : larutan 0.1 N asetat dan Na-asetat dicampurkan dengan
perbandingan yang telah ditentukan. Campuran dihomogenkan, dan diukur pH
masing-masing campuran dengan menggunakan pH meter.
Bufer fosfat
standar (Sorensen) : larutan 0.2 M Na2HPO4 dan KH2PO4 dicampurkan dengan
perbandingan yang telah ditentukan. Campuran dihomogenkan, dan diukur pH
masing-masing campuran dengan menggunakan pH meter.
Tekanan Osmotik Cairan Sel Darah
Merah
Sebanyak 3 buah tabung reaksi
masing-masing diisi 5 mL larutan NaCl 0.3 %, NaCl 0.9 %, dan NaCl 5 %. Beberapa
tetes darah ayam disuspensikan ke dalam masing-masing larutan yang telah
disediakan. Endapan yang terbentuk diamati dan dibandingkan tiap tabung reaksi.
Dilakukan juga pengamatan sel darah merah ketiga suspensi tersebut di bawah
mikroskop.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Koloid terdiri atas fase pendispersi dan fase
terdispersi. Fase terdispersi memiliki ukuran partikel yang lebih besar
daripada solut pada larutan, tetapi masih lebih kecil daripada solut pada
suspensi. Koloid dapat diendapkan dengan cara menambahkan sejumlah larutan
garam pada koloid. Respon penambahan larutan garam pada koloid berbeda-beda,
bergantung pada sifat liofil atau liofob yang dimiliki oleh koloid tersebut.
Koloid liofil adalah koloid yang dapat mengadsorpsi cairan, sedangkan koloid
liofob ialah koloid yang tidak dapat mengadsorpsi cairan. Adapun hasil
pengamatan proses pengendapan beberapa jenis koloid dengan penambahan larutan
garam tertera pada Tabel 1.
Tabel
1 pengedapan koloid dengan garam
Larutan
|
Jenis
koloid
|
NaCL
10%
|
Gelatin
Pati
Biru
berlin
Ferihidroksida
|
Liofil
Liofil
Liofob
Liofob
|
-
-
++
-
|
Keterangan = (+) = mengendap
(++)= banyak endapan
( - ) = tidak mengendap
Tabel
2 larutan koloid
Koloid
|
Pengamatan
|
Jenis Koloid
|
Gambar
|
Gelatin + Biru berlin
|
Tidak berdifusi
|
Liofil-liofob
|
|
Gelatin+ CuSO4
|
Tidak berdifusi
|
Liofil-liofob
|
|
Gelatin + Eosin
|
Berdifusi
|
Liofil-liofil
|
|
Gelatin + Giemsa
|
berdifusi
|
Liofil-liofil
|
Koloid liofil adalah koloid yang suka dengan air
artinya koloid yang akan saling tarik menarik dengan pelarutnya. Gelatin 2% dan
pati 2% ditambahkan dengan NaCl. Setelah lama didiamkan pada kedua tabung tidak
terbentuk endapan. Hal ini menunjukan bahwa gelatin 2% dan pati 2%
bersifat liofil (suka air) sehingga larutan keduanya cenderung berikatan dengan
air dan tidak menghasilkan endapan. Sedangkan untuk larutan jenis koloid
liofob, setelah ditambahkan NaCl 10% larutan seharusnya menghasilkan endapan
dalam beberapa menit. Namun hasil percobaan ini tidak sesuai dengan teori,
yaitu NaCl lebih mudah dalam mengkoagulasikan koloid liofob karena
memiliki muatan positif dan muatan negatif. Ketika Biru berlin ditambahkan NaCl
adan menhasilkan endapan, namun, ketika NaCl ditambahkan ke Ferihidroksida
tidak menghasilkan endapan, hal tersebut dikarenakan adanya kesalahan yang
dilakukan dalam melakukan percobaan.
Pada dasarnya garam dapat mengendapkan koloid karena
dapat mengurangi gugus elektrostatik diantara partikel yang tersuspensi
sehingga menyebabkan agregasi dan pengendapan (Oxtoby 2001). Koloid mempunyai
sifat kinetik dapat mengendap. Partikel-partikel koloid mempunyai kecenderungan
untuk mengendap karena pengaruh gravitasi bumi. Hal tersebut bergantung pada rapat
massa partikel terhadap mediumnya. Jika rapat massa partikel lebih besar dari
medium pendispersinya, maka partikel tersebut akan mengendap begitupun
sebaliknya.
Percobaan yang dilakukan menggunakan larutan gelatin
2% dan larutan pati 2% yang mempunyai sifat liofil. Untuk liofob, percobaan
menggunakan larutan biru berlin dan ferrihidroksida. Didapatkan dua fase yang
tidak terlihat dari masing-masing kedua jenis koloid tersebut dengan warna
sesuai dengan larutan tersebut.
Partikel zat terlarut akan mendifusi dari larutan
yang konsentrasinya tinggi ke daerah yang konsentrasinya lebih rendah. Difusi
erat katiannya dengan gerak brown, sehingga dapat dianggap molekul-molekul atau
partikel-partikel koloid mendifusi karena adanya gerak
Brown. Koloid liofil memiliki ciri berdifusi dengan ditandai adanya
gradien warna. Gradasi warna koloid dapat terlihat apabila tabung reaksi
dibalik. Sedangkan untuk koloid berjenis liofob tidak mengalami difusi,
terlihat dari tabung reaksi yang telah dibalik terjadi perembesan yang tampak
dari tercampurnya warna (Alberts et
al. 2004).
Pengamatan yang dilakukan adalah tentang sifat dari
larutan koloid. Sifat yang diamati adalah sifat difusi. Difusi suatu larutan
koloid liofob dan koloid liofil. Pada pengamatan dilakukan pengisian gelatin
pada tabung reaksi kemudian di tambahkan giemsa, larutan CuSO4, Eosin dan biru
berlin.. Gelatin merupakan koloid liofil dan giemsa juga koloid liofil maka
pada pengamatan terlihat bahwa terjadi proses difusi antara keduanya dengan
adanya gradien yang terbentuk. Gelatin (koloid liofil) dan larutan
CuSO4 (koloid liofil) terbentuk gradien dan bersifat difusi.
Gelatin dan eosin (koloid liofil) terbentuk gradien dan bersifat difusi.
Gelatin dan biru berlin (koloid liofob) tidak terbentuk gradien yang terbentuk
adalah perembesan saja karrena tidak dapat berdifusi melalui gel.
Bufer dibuat dari campuran asam lemah dengan
garam/basa konjugasinya atau basa lemah dengan garam/asam konjugasinya
(Sihaloho 2013). Komponen penyusun bufer itu yang menyebabkan suatu larutan
bufer dapat mengikat ion H+ atau OH- dengan baik sehingga bufer dapat
mempertahankan pH. Bufer juga sangat berperan dalam tubuh manusia. Sistem bufer
yang terdapat dalam tubuh manusia adalah sistem bufer fosfat dan bufer
karbonat.
Tabel
3 Nilai pH bufer standar asetat
Volume
CH3COOH
(ml)
|
Volume
CH3COONa (ml)
|
pH
Indikator
|
pH
Teoritis
|
Kapasitas
Buffer
|
||
9,25
8,20
6,30
4,00
2,10
|
0,75
1,80
3,70
6,00
7,90
|
4
4
5
5
5
|
3,66
4,04
4,52
4,93
5,32
|
0,7697
0,8497
0,9506
1,0369
1,1189
|
||
Contoh perhitungan :
mmol asam = V × M = 9.25 mL × 0.1 N = 0.925 mmol
mmol garam = V × M = 0.75 mL × 0.1 N = 0.075 mmol
[H+] =
Ka ×
=
(1.76 × 10-5) ×
= 2.17 × 10-4
pH = - log [H+ ] = -
log (2.17 × 10-4) = 3.66
pKa = - log Ka = - log (1.76 ×
10-5 ) = 4.76
kapasitas
bufer =
=
=
0.7697
Nilai pH terukur kemudian dibandingkan dengan nilai
pH teoretis yang diperoleh dari hasil perhitungan secara teori. Nilai pH
terukur yang diperoleh dari percobaan berbeda dengan nilai pH teotetis hasil
perhitungan. Hal tersebut dapat diakibatkan oleh kesalahan pada saat
pengukuran, meliputi teknik penggunaan pH meter, kondisi pH meter yang
digunakan, maupun kesalahan saat pembuatan larutan. Selain pengukuran pH,
dilakukan juga perhitungan kapasitas bufer. Secara sederhana, kapasitas bufer
adalah jumlah asam atau basa yang dapat dinetralkan oleh bufer sebelum pH-nya
berubah Kapasitas bufer bergantung pada jumlah mol dan perbandingan mol komponen
penyusun bufer tersebut. Kapasitas bufer maksimum adalah yang nilainya sama
dengan 1. Hal tersebut sesuai dengan persaman pH = pKa. Kapasitas bufer yang
nilainya semakin mendekati 1 maka bufer tersebut semakin baik untuk digunakan
(Padmono 2007). Pada Tabel 3, bufer yang memiliki kapasitas terbaik adalah
bufer yang terbuat dari campuran 6.30 mL asam asetat 0.1 N dan 3.70 mL
Na-asetat 0.1 N dengan nilai kapasitas 0.9506. Adapun data pada Tabel 4, bufer
yang memiliki kapasitas bufer terbaik adalah bufer yang terbuat dari campuran
5.00 mL Na2HPO4 0.2 M dan 0.5 mL KH2PO4 0.2 M dengan nilai kapasitas sebesar
0.9985.
Tabel 4 Nilai pH bufer standar fosfat
Volume
Na2HPO4(ml)
|
Volume NaH2PO4(ml)
|
pH
Indikator
|
pH
Teoritis
|
Kapasitas Buffer
|
|
0,50
1,20
2,65
5,00
7,15
|
9,50
8,80
7,35
5,00
3,85
|
5
6
6
7
8
|
5,51
5,92
6,35
6,79
7,19
|
0,8103
0,8706
0,9338
0,9985
1,0574
|
Contoh
perhitungan:
mmol asam = V × M =
0,50 mL × 0.2 N = 0.1 mmol
mmol garam = V × M = 9,50 mL × 0.2 N = 1,90 mmol
[OH-]=
Kb ×
=
6,23 x 10-8 ×
= 3,28 x 10 -9
pOH = - log [OH-] = - log (3.28
× 10-9) = 8.48
pH = 14 – pOH = 14 – 8.48 =
5.51
pKb = - log Kb = - log (6.23 ×
10-8 ) = 7.20
pKa = 14 - pKb = 14 – 7.20 =
6.80
kapasitas
bufer =
=
=
0.8103
pH = - log [H+ ] = -
log (2.17 × 10-4) = 3.66
pKa = - log Ka = - log (1.76 ×
10-5 ) = 4.76
kapasitas
bufer =
=
=
0.7697
Kapasitas bufer/daya tahan campuran
adalah jumlah mol asam atau basa kuat yang harus ditambahkan ke dalam 1L
campuran penahan agar terjadi perubahan pH sebesar 1 satuan. Hasil percobaan
pengukuran pH bufer asetat dengan cara Walpole menunjukkan bahwa kapasitas
bufer terbesar dapat diperoleh dengan mencampurkan Na-asetat dengan asam
asetat. Jumlah Na-asetat dengan asam asetat yang dicampurkan dilakukan pada 5
ulangan yang berbeda (tabel 3). Hasil pengukuran antara pH meter dan pH
universal tidak berbeda jauh. Adanya perbedaan hasil pengukuran sekitar 2 digit
di depan koma dikarenakan penggunaan pH universal hanya mengandalkan warna yang
dibandingkan antara pH 1 – 7. Berbeda dengan pH meter yang lebih akurat dan
tepat. Perbedaan juga dapat diakibatkan kesalahan pengamatan. Sementar itu,
Perbandingan konsentrasi asam-basa lemah dengan garamnya menentukan efektifitas
larutaan bufer. Pada bufer asetat, semakin banyak volume Na-asetat yang
ditambahkan, semakin naik pula pHnya. Dari data, terlihat bufer asetat efektif
pada pH sekitar 5.0, artinya setelah mencapai pH 5.0, penambahan volume
Na-asetat akan meningkatkan pH, tetapi tidak terlalu besar. Berbeda dengan
bufer asetat, bufer fosfat tidak terlalu efektif, karena penambahan KH2PO4
meningkatkan pH larutan terlalu besar. Dari data pengamatan pH efektif untuk
bufer fosfat adalah sekitar 6.0. Di dalam tubuh sendiri sistem bufer bikarbonat
mempertahankan pH darah sekitar 7.40 (Purba 2003).
Tekanan osmotik adalah tekanan yang dibutuhkan untuk
mempertahankan kesetimbangan osmotik antara suatu larutan dan pelarut murninya.
Larutan dan pelarut tersebut dipisahkan oleh suatu membran yang hanya dapat
dilewati oleh pelarut tersebut. Dengan kata lain, tekanan osmotik adalah
tekanan yang diperlukan untuk menghentikan proses osmosis, yaitu gerakan
pelarut melintasi membran semipermeabel ke larutan yang lebih pekat (Kofli et
al. 2006).
Suatu sel dapat mengalami
beberapa kejadian berdasarkan kondisi larutannya. Jika
sel berada pada larutan yang hipotonik, cairan yang terdapat di luar sel
akan masuk sehingga sel membesar dan akhirnya sel akan
pecah (lisis). Jika sel berada pada larutan yang isotonik, cairan dalam sel akan tetap dan dalam keadaan yang seimbang. Jika sel
berada dalam larutan hipertonik, cairan dalam sel akan keluar dan sel akan mengerut (krenasi) (Wilson et al. 2000).
Apabila medium di sekitar
eritrosit menjadi hipotonis (karena penambahan larutan NaCl hipotonis) medium
tersebut (plasma dan lrt. NaCl) akan masuk ke dalam eritrosit melalui membran
yang bersifat semipermiabel dan menyebabkan sel eritrosit menggembung. Bila
membran tidak kuat lagi menahan tekanan yang ada di dalam sel eritrosit itu
sendiri, maka sel akan pecah, akibatnya hemoglobin akan bebas ke dalam medium
sekelilingnya. Sebaliknya bila eritrosit berada pada medium yang hipertonis,
maka cairan eritrosit akan keluar menuju ke medium luar eritrosit (plasma),
akibatnya eritrosit akan keriput (krenasi). Keriput ini dapat dikembalikan
dengan cara menambahkan cairan isotonis ke dalam medium luar eritrosit
(plasma). Sebanyak 0,9% NaCl disebut larutan fisiologis. Larutan tersebut
disebut larutan fisiologis karena tekanan osmotik larutan sama dengan tekanan
larutan dalam sel darah merah. Larutan fisiologis bersifat isotonis (Chang
2004).
Tabel
5 Pengamatan tekanan osmotik darah
Konsentrasi
NaCl (%)
|
Kondisi
Sel
|
Pengamatan
|
Literatur
|
0,3
|
Hipotonis
|
Tidak
teramati
|
(Stoker
2015)
|
0,9
|
Isotonis
|
Tidak
teramati
|
(Stoker
2015)
|
5
|
Hipertonis
|
Tidak
teramati
|
(Stoker
2015)
|
Pada pengamatan darah dan NaCl
0,3% warna larutan merah bening. Pada pengamatan darah dan NaCl 0,9% warna
larutan merah bening juga. Pada pengamatan darah dan NaCl 5% warna larutan
merah keruh. Hal tersebut menunjukan sifat dari tekanan osmotik pada larutan
tersebut. Pada darah dan NaCl 0,3% larutan bersifat hipotonik, darah dan NaCl
0,9% bersifat isotonik, sedangkan darah dan NaCl 5% bersifat hipertonik.
Pada bidang medis, tekanan
osmotik digunakan dalam cairan infus. Prinsip tekanan osmotik ini sangat
penting dalam proses pemberian cairan intravena. Biasanya larutan yang
digunakan dalam pemberian infus intravena bersifat isotonik karena mempunyai
konsentrasi yang sama dengan plasma darah. Hal ini penting untuk mencegah
perpindahan cairan elektrolit ke dalam intrasel. Larutan intravena yang
hipotonik akan menyebabkan tekanan osmotik plasma darah akan lebih besar
dibandingkan dengan tekanan osmotik cairan interstisial karena konsentrasi
protein dalam plasma lebih besar dibanding dengan cairan interstisial dan
molekul protein lebih besar, sehingga membentuk larutan koloid dan sulit
menembus membran semipermeabel (Uliyah et
al. 2008).
SIMPULAN DAN
SARAN
Simpulan
Terdapat dua jenis larutan koloid
yaitu liofil dan liofob. Koloid liofil adalah koloid yang suka dengan air
artinya koloid yang akan saling tarik menarik dengan pelarutnya. Koloid liofob
ialah koloid yang tidak dapat mengadsorpsi cairan. Larutan buffer memiliki
suatu kapasitas. Kapasitas bufer didefinisikan sebagai kemampuan larutan bufer
untuk mempertahankan pH dengan konstan ketika ditambahkan sedikit asam atau
basa. Tekanan osmotik adalah tekanan yang dibutuhkan untuk mempertahankan
kesetimbangan osmotik antara suatu larutan dan pelarut murninya. Isotonis
adalah suatu keadaan tekanan osmotik larutan yang sama, misalnya darah dan air
mata. Hipotonis berarti tekanan osmotik larutan lebih kecil dari pada tekanan
osmotik larutan lainnya. Hipertonis merupakan keadaan dimana tekanan osmotik
larutan lebih besar dari larutan lainnya.
Saran
Data
pada praktikum ini masih memiliki beberapa kekurangan terutama pada gambar
hasil mikroskop. Gambar belum jelas menunjukkan kondisi sel darah merah pada
kondisi hipotonik, isotonik, dan hipertonik. Teknik pengukuran pH yang
dilakukan pada saat percobaan juga masih belum tepat sehingga data pH terukur
masih perlu diperiksa secara teliti.
DAFTAR
PUSTAKA
Alberts B, Bray
D, Hopkin K, Johnson A, Lewis J, Raff M, Roberts K, Walter P. 2004. Essential Cell Biology 2nd Ed. New
York (US): Garland Science.
Chang R. 2004. Kimia Dasar: Konsep-konsep Inti Jilid 2 Edisi ketiga.
Jakarta (ID): Erlangga.
Isnaeni W. 2006. Fisiologi Hewan. Yogyakarta (ID):
Kanisius.
Kofli NT, Nagahisa K, Shimizu
H, Shioya S. 2006. Responses of different strains of Saccharomyces cerevisiae
to osmotic stress. Sains Malaysiana. 35(2): 9-15.
Oxtoby DW. 2001. Kimia Modern Edisi Ke-4 Jilid 1. Jakarta
(ID): Erlangga.
Padmono D. 2007.
Kemampuan alkalinitas kapasitas penyangga (buffer capacity) dalam sistem
anaerobik fixed bed. Jurnal teknik Lingkungan. 8(2): 119-127.
Purba
M. 2003. Kimia 2000.
Jakarta (ID): Erlangga.
Samsi KMK,
Phangkawira E, Yang SJ. 2009. Hubungan berat molekul dengan ukuran molekul
koloid yang lazim digunakan dalam resusitasi sindrom syok dengue. Sari
Pediatri. 10(6): 381–391.
Sihaloho M.
2013. Analisis kesalahan siswa dalam memahami konsep larutan buffer pada
tingkat makroskopis dan mikroskopis. Jurnal Entropi. 3(1): 488-499.
Stoker HS. 2015. General, Organic & Biological Chemistry
7th Edition. Boston (US): Cengage Learning.
Syamsuni. 2006. Farmasetika Dasar dan Hitungan Farmasi.
Jakarta (ID): EGC.
Uliyah M, Hidayat AAA. 2008. Keterampilan Dasar Praktik Klinik untuk
Kebidanan, Edisi 2. Jakarta (ID): Salemba Medika.
Wilson K, Walker J. 2000. Principles
and Techniques of Practical Biochemistry 5th Edition. Cambridge (AU):
Cambridge University Press.
Terimakasih telah membaca artikel LAPORAN BIOKIMIA BIOFISIK 2. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL https://jaringanfathan.blogspot.com/2016/10/biofisik-2.html. Jika ingin copy paste artikel ini, jangan lupa untuk mencantumkan link sumber.